Bahasa dan Nalar Santri (Merekonstruksi Pemikiran Santri yang Konservatif)

Share

Bahasa dan Nalar Santri

KHOLIF.COM - Belajar dan bicara bahasa Inggris di sejumlah lingkungan pesantren memang terkesan eksentrik. Barangkali lantaran bahasa ini bukan bahasa literaut untuk kitab-kitab kuning atau mungkin saja karena tidak ada kaitannya dengan Al-Quran, maka ngapain dipelajari.

Meskipun seperti itu toh ada juga pesantren-pesantren yang menekuni bahasa nan akrab disebut sebagai bahasa bermuka dua ini. Bahkan anehnya sebagian mereka justru menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa keseharian para santri.

Kalau memang dianggap seperti itu, artinya bahasa Inggris posisinya tampak sepadan dengan bahasa Arab, yang merupakan bahasa ibu dari sebuah pesantren. Fakta ini terjadi tentu saja tidak tanpa alasan tetapi memang ada hal yang melatar belakanginya, yakni karakter itu sendiri.

Sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tentu saja memiliki karakter tertentu yang menjadi kekhasan-nya. Sedikitnya ada tiga karakter pesantren di Indonesia, yakni tradisional, moderen dan komprehensif (Muh. Ramli).Dan ada kecenderungan berbeda dari masing-masing karakter tersebut.

 1) Tradisional. Model ini masih mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mempelajari karya para ulama klasik, 2) Moderen. Model moderen lebih menekankan pada mata pelajaran umum ketimbang kitab-kitab kuning, dan 3) Komprehensif. Model terakhir ini memadukan dan menyeimbangkan kedua model tradisional dan moderen dengan menitik beratkan pada metode pembelajaran.

Bicara pesantren, secara tidak langsung bicara santri itu sendiri, dan bicara santri maka akan ditemui banyak karakter yang unik di sana. Pada umumnya ada dua karakter santri, yakni tertutup (konservatif) dan terbuka (permisif). Tertutup dalam arti membatasi diri terhadap ilmu pengetahuan umum dan terbuka, artinya mau menerima segala macam disiplin ilmu pengetahuan tanpa terkecuali.

Dalam konteks ilmu, santri yang ogah mempelajari ilmu-ilmu nalar atau diskursif umunya santri model konservatif - dimana dia cenderung menutup mata terhadap suatu perubahan. Maka santri semacam ini biasanya suka tebang pilih suatu ilmu, akhirnya sering kali tidak adil dengan menjunjung tinggi yang satu dan memandang rendah lainnya.

Hal ini tentu saja berbeda dengan santri model permisif – dimana sangat terbuka terhadap transisi keadaan. Jadi tidak heran jika selain mengkaji ilmu agamis, santri seperti ini juga mendalami ilmu-ilmu diskursif. Karena karakternya yang open minded dia tidak suka pilah-pilah ilmu, terlebih bahasa Inggris yang kehadirannya memegang peranan penting bagi dunia akademik.

Sebagaimana sikap acuhnya terhadap ilmu-ilmu diskursif, mumnya santri model konservatif tidak menyukai bahasa Inggris - bahkan ada sebagian yang alergi. Barangkali di pikirannya ada semacam anggapan kalau bahasa Inggris adalah bahasa orang-orang kafir, jadi nggak perlu dipelajari aplagi dipraktikan.

Boleh jadi nanti malah dosa dan akhirnya masuk neraka. Aduh panas, mas. Tapi lain halnya santri model permisif. Karena pandangannya yang netral maka dia memandang penting semua ilmu, terlebih bahasa Inggris - yang bisa dikatakan sebagai bahasanya ilmu moderen. Mungkin bisa diselaraskan dengan bahasa Arab yang menjadi bahasa ilmu (pengetahuan) Al-Quran.

Dalam tulisan ini tidak niat mendikotomi kedua ilmu tersebut sehingga kesannya mempertentangkannya, melainkan bermaksud mengungkapkan bahwa baik ilmu agamis maupun diskursif itu sama pentingnya - terlebih dalam dunia pesantren. Maka keduanya seharusnya diposisikan secara sejajar.

Disadari maupun tidak, bahwa realita kehidupan yang serba moderen dengan segala dampak efisiensinya ini tidak lain adalah produk dari ilmu-ilmu diskursif. Ini artinya ilmu-ilmu diskursif memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, termasuk santri itu sendiri. Maka tidak mungkin dihindari (titik).

Bahasa Inggris sendiri memegang peranan penting dalam konteks pendidikan, terutama berbasis pesantren. Hal ini mengingat perkembangan ilmu pengetahuan banyak didominasi oleh orang-orang barat dimana mereka sendiri dalam usaha membangun sebuah konsep dan pemikiran kerap terilhami oleh Al-Quran, sebuah pustaka milik para santri.

Melihat fenomena ini tentu saja keberadaan bahasa Inggris sebagai bahasa ilmu tidak bisa dianggap enteng. Pertanyaannya, bagaimana santri mampu memahami produk pemikiran orang-orang barat jika tidak dibekali bahasa Inggris.

Maka santri yang menyadari akan pentingnya bahasa Inggris dan berusaha belajar dengan sungguh-sungguh, secara tidak langsung dia juga berusaha meniti jejak tokoh seagamanya, taruhlah Ibnu Rusyd. Terlepas dari kontroversinya sebagai sosok ilmuwan muslim abad pertengahan, Ibnu Rusyd sangatlah berjasa bagi kemajuan peradaban manusia - terutama di negara-negara Eropa.

Dan melalui buku tafsirnya terhadap karya Aristoteles, nama Ibnu Rusyd atau lebih dikenal dengan Averroes (oleh masyarakat barat) begitu sangat disegani, juga pemikirannya cukup mewarnai bagi perkembangan keilmuan barat.

Ibnu Rusyd melakukan semua itu tentu saja lantaran pengetahuan bahasanya. Namun saja kebetulan “sesuai konteks zaman” saat itu bukan bahasa Inggris yang dia kuasai, melainkan bahasa Yunani (F. Budi hardiman). Bagaimana mungkin Ibnu Rusyd dapat memahami pemikiran Aristoteles yang tertuang dalam buku-bukunya jika dia saja buta bahasa.

Proposisi ini juga berlaku untuk santri. Artinya, bagaimana santri akan mempelajari ilmu diskursif yang umumnya lahir dari negara-negara barat  jika tidak memahami bahasa Inggris. Ok-lah, barangkali bisa disiasati dengan membaca buku-buku terjemahan. Tapi perlu diingat bahwa selama kita hanya mengandalkan terjemahan (orang lain), ini berarti kita tidak akan pernah memahami sebuah teks secara orisinil.

Pada akhirnya, pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis agama - tentu saja ingin melahirkan santri yang cerdas, tidak hanya cerdas secara spiritual tetapi juga intelektual sebagaiaman para tokoh muslim pendahulunya. Maka berbekal kedua sensibilitas dan intelektualitas santri akan mudah beradaptasi dengan lingkungan baik secara homogen maupun heterogen.

Mereka tidak hanya berani tampil dan berbicara di hadapan kelompok seagamanya, melainkan juga gagah menghadapi golongan tak seiman dengan menguak konsep dan teori diskursif. Sehingga santri tidak lagi dipandang lemah karena kecondongannya berfikir konservatif. Marilah membuka diri terhadap segala perubahan hingga pada akhirnya membuat perubahan. 


Share

Belum ada Komentar untuk "Bahasa dan Nalar Santri (Merekonstruksi Pemikiran Santri yang Konservatif)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel